Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Tentang Anak dan Psikopop


Illustrasi foto Eductory.
Pada konteks tertentu bisa jadi apa yang diceritakan dalam tulisan tersebut memang benar adanya. Orangtua sebagai persona yang telah menjalani proses kehidupan dahulu ketimbang anak usia sekolah biasanya menjadikan referensi personal ketika mereka berada dalam usia yang sama. 

Apa yang telah dialami merupakan refleksi dari pengalaman masa lalu. Berkas memori yang tersimpan dialam bawah sadar ini ditarik kembali untuk disesuaikan menurut idealisasi para individu dewasa seperti orang tua tersebut. Dan yang terjadi adalah proses dogma ideal yang disistematiskan terhadap anak kita yang masih dalam proses berkembang. 

Dimana dalam usia 0-5 tahun atau usia produktif belajar adalah masa-masa dimana anak sebagai individu menghadapi jungkirbaliknya lingkungan ekternal diluar hubungan orangtua-anak. Respsinya bisa beragam. Dalam masa-masa ajaib tersebut anak mempunyai dunia yang liyan ketimbang orang tua-dewasa yang sudah mengalami faset yang berlapis. 

Hubungan anak-orangtua dalam masyarakat adalah berlaku vertikal. Dalam pengertian ini saya selalu melihat bahwa anak yang baik adalah anak yang berbakti terhadap apa yang dikatakan dan diperintah oleh ayah-ibu mereka. Padahal andai saja idealnya peran hak-dan-kewajiban diberlakukan setara mungkin hasilnya akan berbeda. 

Orangtua secara kodrati absolut adalah orang yang melahirkan dan secara sosial diposisikan mempunyai tanggungjawab terhadap anaknya. Dalam pengertian hubungan hak-kewajiban ini anak perlu untuk diperlakukan 'setara' menurut pengertian tersebut. Perlakukanlah anak sebagai sahabat, yang mempunyai dunia sendiri, imajinasi yang ajaib, fantasi diluar kotak yang orang dewasa pun belum tentu sanggup memahami meski mereka mendapat strata pendidikan barat sekalipun yang sistematis dan rasional. 

Coba bayangkan jika tetiba anak TK 0 besar bilang sama bundanya, "Mimi, aku mau ganti nama menjadi Ninita dan boneka itu panggil saja Cicipanda." See, how brilliant they are! Kecerdasan alamiah seperti imajinasi tersebut adalah anugerah semesta bagi siapapun keluarga yang memilikinya. Patut disyukuri. Anak bukanlah investasi berjangka dimana pada suatu masa di depan deposit itu harus disesuaikan dan didapat menurut kuantitas yang telah diasuransikan kepadanya.  

Sekolah adalah idealnya menjadi tempat waktu luang bagi anak untuk membentuk dunianya. Bukan pranata yang rigid dengan tengat-target kuantifikasi. Sebab, manusia adalah mahluk yang berkembang, mahluk yang bermain-main, seperti halnya sekolah yang harus diposisikan sebagai ruang untuk bersenang-senang dengan sebaya, membahas matematika dengan jenaka, belajar berbahasa internasional dengan canda tawa.  

Rewards and punishment juga harus dibangun dengan positif. Bagi yang tidak mengerjakan PR bisa diproyeksikan dengan pembacaan karya puisi tambahan, bagi yang memiliki kuku panjang dapat disublimasikan dengan hukuman berupa penulisan perkalian dengan mengunakan bahasa tanpa khawatir dijeplak pengaris Pak Guru berkumis tebal itu, bukan ditulis dengan angka. Sisipi keseimbangan motorik dengan olah rasa. Angka dan tulisan. 

Anak tetaplah anak dengan dunianya. Sebagaimana halnya orang dewasa yang mengalami fluktuasi perkembangan. Sabar, santai, dan senyumlah selalu untuk mendampingi mereka. Iya, hadapkanlah anak pada dunia yang menyenangkan, penuhi harinya dengan senyum. 

Artikel terkait mengenai ini : Mengapa anak TK tidak boleh diajarkan Calistung.

Komentar