Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I, Cetakan 1, Tahun 1959.

Foto-foto oleh Aokhi
Buku satu ini takkan pernah berhenti menjadi perbincangan, baik secara intelektual maupun sisi ekonomis. Bagi para pencari falsafati kebenaran tentang bagaimana sejarah Republik ini berdiri lewat bangunan aksi-dan-wacana para pendiri bangsa, buku ini sangat layak sampai kapanpun. Buku ini seperti mendefinisikan semangat jaman Indonesia persilangan abad 20-21. Penuh dengan kandungan pesan yang membakar nasionalisme, menumbuhkan kolektivisme, keadilan, religiusitas, dan peranakan lusinan tafsir yang mungkin akan mengemuka. 

 Catatan Sukarno dalam Dibawah Bendera Revolusi ini adalah sejarah hidup tentang bagaimana sikap beliau sebagai Pemimpin Besar Revolusi ditengah gempuran infiltrasi separasi fisik dan laten yang dilancarkan sekutu adikuasa barat. Di dunia ini mungkin hanya Sukarno yang punya lebih dari sekedar nyali guna membuat poros politik tanpa blok, mengaplikasikan politik tanpa jutaan darah membanjiri kalam sejarah. Tanpa pula ideologi harus tergadai agenda kapitalisme. Sampai titik penghabisan.





Komentar