Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Sudahlah tak usah membajak! Hentikan



Pembajakan dan mengklaim sesuatu yang bukan menjadi karya perseorangan atau kelompok oleh yang lainnya bukan hal yang baru dalam dunia media atau bahkan seni dan akademis. Di ranah media kerap kali saya menemukan karya fotografi yang dicaplok media tertentu demi keberimbangan karya jurnalistik perusahaannya. Sayangnya pula tak ada kredit bagi si empunya karya sesungguhnya. Bagi mereka ini apresiasi sebuah karya tentu bukan hanya perihal kerugian materil [biaya dan waktu yang dihabiskan] akan tetapi lebih dari itu adalah karya intelektual dalam membuat karya tersebut yang menjadi esensi dari sebuah produk, jurnalistik atau produk niaga sekalipun.  

Nah, sayangnya dari kasus yang sudah-sudah media seakan lupa, dalam hal ini berarti editor atau persona yang diberi tanggungjawab untuk mengelola berita lapangan dan disiarkan kemudian. Kenapa saya katakan demikian, pertama, karena media mempunyai sistem yang bekerja tersendiri dalam mewartakan sebuah peristiwa. Setelah dari wartawan di lapangan, kemudian ada korlap, dan desk editor hingga kemudian produser yang bertanggungjawab terhadap tema acara atau liputan tertentu. Seorang prajurit tak mungkin menjalankan komando sendirian, bukan? Begitupun seorang komandan yang baik tak akan membiarkan prajurit di lapangan yang merupakan aset sistem secara general memutuskan rantai komunikasi dan berjalan sendirian. 

Jikalau salah satu tidak bekerja prima atau menyelewengkan akurasi hasil liputan jurnalistik maka jangan heran di era keterbukaan sekarang publik-aktif media akan bereaksi. Semisal surat terbuka di Kompasiana ini. Sebagai salah satu kanal produk jurnalisme warga hal positif seperti ini sangat berguna demi mengontrol kinerja media untuk lebih profesional meningkatkan kualitas. Surat terbuka di laman sosial media bak hak jawab. Dan yang jelas sebelum jauh hari kedepan berpidana-perdata ria alahkah arifnya pihak yang bersangkutan urun rembug menuju solusi. 

Oh well, selamat pagi. Salam olahraga!

Komentar